Tidak memenuhi target menembus Piala Dunia edisi 2026 seharusnya bukan akhir bagi perjalanan tim nasional sepak bola Indonesia. Kegagalan ini seharusnya menjadi refleksi bahwa program jangka pendek belum cukup untuk menuju pentas dunia.
Jika pun lolos ke Piala Dunia 2026, kebanggaan itu sejatinya tidak menjadi milik seluruh anak bangsa Indonesia. Ada pelatih-pelatih di lapangan berlumpur, di kampung-kampung, dan di sekolah sepak bola kecil yang tidak merasakan euforia tim ”Garuda” menembus Piala Dunia.
Timnas Indonesia tidak lagi ramah untuk bakat-bakat lokal yang memulai mimpi dan meniti karier di lapangan hijau dari rahim pertiwi. Bakat-bakat lokal—terlepas dari kualitasnya—sudah tersisih. Kans mengenakan seragam tim Garuda di dada kian mengecil.
Selama 731 hari atau dua tahun petualangan timnas di pra-Piala Dunia 2026 mencerminkan itu. Skuad Garuda memulai perjuangan dari babak pertama dengan berjumpa tetangga serumpun, Brunei Darussalam.
Dengan bermodal tiga pemain naturalisasi dan 20 pemain binaan dalam negeri, Indonesia di bawah asuhan Shin Tae-yong unggul agregat mutlak, 12-0. Pada laga pamungkas putaran keempat pra-Piala Dunia 2026, hal terjadi sebaliknya. Hanya ada lima pemain didikan akademi lokal. Tim asuhan Patrick Kluivert dihuni 18 pemain yang perlu mengganti paspor mereka untuk membela timnas Indonesia.

Tidak perlu lagi memang untuk mengkritik kehadiran pemain-pemain naturalisasi. FIFA saja membuka pintu untuk pemain-pemain diaspora membela negara leluhurnya.
Namun, khusus kasus Indonesia, kebijakan naturalisasi itu menyebabkan federasi, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), seperti tidak memihak bakat-bakat lokal. Upaya sejumlah pemain untuk berkarier di luar negeri juga tidak mendapat sambutan hangat.
Kluivert lebih mementingkan pemain diaspora yang bermain di BRI Liga Super, alih-alih sejumlah pemain lokal yang membela tim-tim luar negeri. Beckham Putra, gelandang Persib Bandung, adalah satu-satunya pemain lokal yang pecah cap dalam 12 bulan rezim Kluivert.
Selain itu, pemangku kepentingan sepak bola lainnya, I-League selaku operator kompetisi, kian menutup peluang anak-anak bangsa tampil di kompetisi kasta tertinggi. Setiap klub memiliki jatah memainkan tujuh pemain asing per laga. Artinya, cuma empat pemain lokal yang bisa bermain dalam satu pertandingan Liga Super Indonesia.
Kebijakan yang memarjinalkan pemain lokal seakan menjadi ”balasan” pupusnya mimpi Indonesia lolos ke Piala Dunia 2026. Timnas Indonesia semakin berkembang, tetapi mayoritas pemain-pemain lokal tidak mendapatkan kesempatan setara untuk tampil membela seragam kebesaran tanah airnya.

”Perjuangan kami tidak berhenti di sini (pra-Piala Dunia 2026). Tim ini akan berusaha lebih keras untuk tampil lebih baik di turnamen selanjutnya,” tutur Jay Idzes, bek tengah dan kapten timnas.
Perubahan
Dengan tidak lagi menjalankan pertandingan menuju pentas tertinggi sejak agenda laga internasional, November 2025, maka seharusnya tim kepelatihan timnas Indonesia dan PSSI membuka tangan untuk menambah jam terbang pemain-pemain lokal.
Indonesia akan memiiliki kesempatan memainkan maksimal 12 pertandingan pada jeda internasional periode November 2025 hingga November 2026. Laga ekshibisi itu adalah persiapan sebelum bertarung di Piala Asia 2027, Januari-Februari 2027.
Pertandingan itu bisa sangat bermanfaat bagi Indonesia untuk menaikkan peringkat dalam peringkat FIFA. Hal itu demi mendapat undian kualifikasi Piala Dunia 2030 dalam posisi lebih baik.
Pra-Piala Dunia 2030 zona Asia akan mulai digelar pada periode laga internasional September-Oktober 2027.
Laga uji coba itu sebaiknya dimanfaatkan untuk mempersiapkan regenerasi skuad Indonesia, terutama guna mempersiapkan gelandang baru untuk mengisi peran Joey Pelupessy dan Thom Haye yang telah berusia 30 tahun lebih.
Ada bijaknya jika staf kepelatihan Indonesia berani memberikan kesempatan kepada pemain-pemain lokal yang telah membuktikan diri di kompetisi domestik. Pilihannya ada pada Arkhan Fikri, Rayhan Hannan, hingga Zanadin Fariz. Ada juga bakat potensial dari tim U-17 Indonesia, misalnya Evandra Florasta dan Nazriel Alfaro.
Kondisi itu demi akselerasi kualitas pemain-pemain lokal sehingga mereka bisa mengatasi ketertinggalan kualitas dari pemain-pemain naturalisasi.
Menurut mantan penyerang timnas Indonesia, Dede Sulaeman, kesempatan setara untuk pemain lokal membela timnas harus diutamakan. Ia menyatakan, bermain untuk timnas adalah capaian terbesar dan paling membanggakan bagi setiap anak-anak Indonesia.
”Jangan sampai pemain-pemain lokal merasakan kerja kerasnya sia-sia akibat prioritas terhadap pemain naturalisasi bermain di timnas. Pemain lokal tetap adalah elemen utama untuk perkembangan sepak bola Indonesia,” ujar Dede yang rutin membela timnas pada periode 1975-1985.
Bob Hippy, legenda timnas era 1950-an dan mantan pengurus PSSI, berharap kegagalan menembus Piala Dunia 2026 menjadi momentum PSSI membenahi dasar pembinaan. Bagi Bob, akar utama sebuah negara bisa rutin lolos ke Piala Dunia adalah telah kuatnya fondasi pembinaan sehingga pemain sudah disiapkan sejak usia anak-anak hingga periode senior.

Mungkin kita terlalu jauh dan terlalu cepat untuk mengejar Piala Dunia. Pembenahan pembinaan usia dini sebaiknya menjadi prioritas. Dengan pembinaan yang baik dan berjenjang, maka dengan sendirinya akan hadir timnas yang kuat untuk bersaing di level Asia hingga dunia,” tutur Bob.
Ya, satu tahun ke depan adalah kesempatan PSSI menyiapkan timnas yang kuat demi berjuang lagi menembus Piala Dunia 2030. Maukah federasi berbenah dan lebih adil untuk pemain lokal?



