
DuniaBola Ketika sepak bola Italia memasuki dekade 2020-an, ekspektasi publik sejatinya berada pada titik optimistis. Setelah sebuah perjalanan emosional yang berakhir dengan gelar juara Euro 2020, banyak yang meyakini bahwa Gli Azzurri sedang menuju era keemasan baru. Namun realitas justru berbicara sebaliknya. Italia kembali jatuh pada lingkaran masalah yang serupa: performa tidak konsisten, kegagalan melaju otomatis ke Piala Dunia, dan tekanan mental yang menggerogoti identitas permainan mereka. Kini, menjelang Piala Dunia 2026, Italia kembali harus bekerja keras melalui jalur playoff untuk mengamankan tiket ke Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko.
Situasi ini memunculkan pertanyaan besar: Mengapa negara dengan sejarah empat kali juara dunia itu terus bergelut dalam periode suram untuk sekadar lolos ke putaran final? Untuk memahami akar persoalan tersebut, kita perlu menelusuri dinamika internal sepak bola Italia, faktor struktural, kualitas generasi pemain, perubahan taktik, hingga tekanan historis yang menyelimuti institusi sepak bola negeri tersebut.
1. Bayang-Bayang Dua Kegagalan Beruntun
Kegagalan Italia lolos ke Piala Dunia 2018—kegagalan pertama sejak 1958—telah menjadi tamparan keras bagi dunia sepak bola mereka. Tetapi luka itu ternyata belum sembuh ketika Italia kembali gagal tampil pada Piala Dunia 2022 di Qatar, meski setahun sebelumnya mereka menjadi juara Eropa. Dua kegagalan tersebut menyisakan trauma yang memengaruhi siklus menuju 2026.
Secara psikologis, tim nasional Italia masuk ke setiap pertandingan kualifikasi dengan tekanan yang jauh lebih besar dibanding negara lain. Setiap hasil imbang terasa seperti kekalahan. Setiap kekalahan menjadi krisis kecil. Dan setiap peluang yang terlewat menjadi beban mental tambahan yang menumpuk di pundak para pemain.
Trauma kolektif semacam ini tidak bisa diselesaikan dengan cepat. Hal tersebut memengaruhi cara pemain bereaksi ketika tertinggal, ketika menghadapi tim kecil, atau ketika menghadapi pertandingan yang “harus menang”. Ketika tekanan menjadi terlalu besar, detail kecil yang seharusnya bisa diatasi pun berubah menjadi masalah besar.
2. Krisis Pemain Bintang dan Minimnya Generasi Penerus
Salah satu kritik terbesar terhadap sepak bola Italia dalam satu dekade terakhir adalah kurangnya regenerasi pemain kelas dunia, terutama di posisi penyerang dan kreator permainan. Jika kita menengok ke era 1990-an hingga awal 2010-an, Italia selalu memiliki deretan nama besar: Roberto Baggio, Francesco Totti, Alessandro Del Piero, Andrea Pirlo, Paolo Maldini, Fabio Cannavaro, Gianluigi Buffon.
Kini, generasi seperti itu tidak muncul dalam jumlah yang memadai.
a. Lini depan yang tumpul
Masalah serangan menjadi persoalan yang paling sering disebut. Italia tidak memiliki striker dengan kemampuan mencetak 20–25 gol per musim secara konsisten di level klub. Pemain seperti Ciro Immobile dominan di Serie A, tetapi kesulitan mentransfer performa tersebut ke level internasional. Alternatif lain—Gianluca Scamacca, Moise Kean, Mateo Retegui—masih inkonsisten atau belum mencapai level elite.
Ini berbeda jauh dengan para rival Eropa seperti Prancis, Inggris, Spanyol, atau Portugal yang memiliki stok penyerang muda dengan kualitas mentok kelas dunia.
b. Minimnya playmaker kreatif
Italia pernah dikenal sebagai rumah bagi para trequartista terbaik dunia. Tetapi dalam sepak bola modern, peran itu terkikis. Ketika negara lain beradaptasi dan memunculkan gelandang serbaguna dengan teknik tinggi, Italia justru kehilangan identitas tersebut. Tidak ada lagi pemain dengan kreativitas sekelas Totti, Pirlo, atau Cassano.
c. Ketergantungan pada talenta veteran
Banyak pemain kunci Italia adalah pemain yang sudah mendekati usia senja sepak bola, terutama di lini belakang. Regenerasi memang mulai terlihat pada beberapa posisi, tetapi prosesnya lambat. Keterlambatan ini membuat tim nasional berada dalam periode transisi yang panjang—lebih lama dari yang seharusnya.
3. Serie A yang Kehilangan Percikan
Untuk memahami keterpurukan tim nasional, kita juga perlu melihat kondisi kompetisi domestik. Serie A tidak lagi menjadi magnet para pemain terbaik dunia. Liga Italia menghadapi tiga masalah utama: keuangan klub yang rapuh, kualitas kompetisi yang stagnan, dan minimnya keberanian memainkan pemain muda lokal.
a. Krisis finansial berkepanjangan
Sejak 2010-an, klub-klub Serie A kesulitan bersaing dengan klub Inggris, Spanyol, dan Jerman dalam hal finansial. Ketidakseimbangan ekonomi ini membuat Italia kehilangan banyak pemain penting atau tidak mampu mendatangkan talenta global yang bisa meningkatkan kualitas kompetisi.
b. Keengganan memainkan pemain muda
Banyak pelatih Serie A masih terjebak pada kultur lama yang sangat berhati-hati dalam memainkan pemain muda. Pemain seperti Sandro Tonali atau Nicolò Zaniolo butuh waktu sangat lama untuk mendapatkan menit bermain reguler di klub, padahal negara lain memberikan kesempatan lebih cepat kepada pemain berbakat.
c. Ketertinggalan dalam inovasi taktik
Ironisnya, Italia yang dulu menjadi laboratorium taktik dunia justru mengalami stagnasi. Ketika sepak bola modern bergerak cepat, menuntut pressing tinggi dan fluidity, banyak klub Serie A masih bermain dengan ritme lambat dan pendekatan konservatif. Hal ini membuat pemain muda Italia kesulitan bersaing secara intensitas di level internasional.
4. Kegagalan Transisi dari Roberto Mancini ke Luciano Spalletti
Setelah era sukses Roberto Mancini di Euro 2020, datang masa-masa sulit. Pergantian pelatih ke Luciano Spalletti seharusnya memberikan energi baru, mengingat Spalletti terkenal dengan pendekatan taktik modern dan permainan menyerang ala Napoli yang ia bawa menjadi juara Serie A.
Namun, transisi tidak berjalan mulus.
a. Pemain tidak cocok dengan sistem baru
Spalletti suka memainkan sepak bola fluid, pressing tinggi, dan penguasaan bola agresif. Namun karakter pemain Italia saat ini banyak yang terbiasa dengan blok bertahan medium dan struktur defensif yang kaku. Adaptasi membutuhkan waktu, sementara kualifikasi Piala Dunia tidak memberikan ruang besar untuk eksperimen.
b. Eksperimen lini tengah
Spalletti mencoba merombak lini tengah dengan kombinasi baru yang belum tentu klop. Sementara Mancini dulu memaksimalkan gelandang-gelandang kreatif seperti Verratti, Barella, dan Jorginho, Spalletti mencari struktur baru yang lebih dinamis. Ketidakseimbangan ini membuat permainan Italia tidak stabil.
c. Waktu persiapan yang minim
Pelatih tim nasional selalu menghadapi masalah waktu. Tetapi untuk Italia, yang mengalami dua kegagalan beruntun, waktu yang sempit semakin membuat proses pembentukan identitas baru menjadi lebih rumit.
5. Beban Historis yang Menjadi Pedang Bermata Dua
Sejarah sepak bola Italia adalah sumber kebanggaan, tetapi juga sumber tekanan besar. Ketika negara seperti Kroasia atau Maroko lolos playoff, mereka mendapat dukungan penuh. Ketika Italia masuk playoff, itu dianggap sebagai skandal.
Ketika pemain Italia mengenakan seragam biru itu, mereka tidak hanya bermain untuk sebuah tim, tetapi untuk sejarah panjang dan ekspektasi publik yang sangat tinggi. Tekanan ini berpengaruh pada mentalitas di pertandingan penting. Banyak laga krusial kualifikasi dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan Italia bermain gugup, tidak tenang, dan sulit menyelesaikan peluang.
Untuk lolos ke Piala Dunia 2026, Italia harus belajar mengelola tekanan ini, bukan membiarkannya menjadi beban tambahan.
6. Masalah Penyelesaian Akhir dan Minimnya Gol yang Dihasilkan
Salah satu faktor paling konsisten yang menjelaskan tersendatnya jalan Italia menuju Piala Dunia 2026 adalah produktivitas gol yang sangat rendah. Statistik menunjukkan bahwa Italia sering mendominasi pertandingan dari sisi penguasaan bola dan jumlah peluang, tetapi gagal mencetak gol pada momen-momen penting.
Masalah ini muncul dari dua akar utama:
-
Kualitas finishing striker yang tidak setajam negara pesaing
-
Kurangnya pemain gelandang kreatif yang mampu menciptakan peluang berkualitas tinggi
Permasalahan finishing bukan hanya masalah teknis, tetapi juga mental. Banyak momen ketika striker Italia terlihat ragu-ragu saat berhadapan dengan kiper, atau memilih opsi yang salah dalam situasi krusial.
7. Cedera Pemain Kunci yang Mengganggu Konsistensi
Italia juga menghadapi masalah cedera berkepanjangan dari sejumlah pemain penting. Nicolo Zaniolo, Federico Chiesa, dan Domenico Berardi adalah contoh pemain yang sering absen pada periode panjang. Hal ini menghambat konsistensi permainan dan memaksa pelatih bereksperimen terus-menerus.
Ketika fondasi tim selalu berubah, sulit membangun chemistry dan pola permainan yang stabil.
8. Ketatnya Persaingan di Zona Eropa
Tidak seperti zona kualifikasi lain, Eropa memiliki tingkat persaingan yang sangat tinggi. Banyak negara dengan kualitas tak jauh berbeda, dan kesalahan kecil bisa berdampak besar. Italia sering terjebak dalam grup yang ketat, di mana selisih poin sangat tipis.
Selain itu, kemajuan negara-negara seperti Swiss, Turki, Slovenia, dan Albania membuat kualifikasi semakin sulit. Negara-negara tersebut memiliki generasi emas dan program pengembangan sepak bola yang jauh lebih modern dan efisien dibanding satu dekade lalu.
9. Melangkah ke Depan: Apa yang Harus Dilakukan Italia?
Untuk keluar dari siklus buruk ini, Italia perlu melakukan perubahan mendasar pada beberapa aspek penting:
1. Regenerasi pemain muda harus dipercepat
Serie A harus memberikan lebih banyak menit bermain kepada pemain Italia berusia 18–23 tahun.
2. Reformasi taktik dan modernisasi filosofi permainan
Italia harus mengikuti sepak bola modern: pressing intensitas tinggi, fleksibilitas posisi, dan kreativitas ofensif.
3. Investasi jangka panjang pada akademi sepak bola
Italia harus mencontoh model Kroasia, Jerman, atau Belgia dalam pembentukan bakat.
4. Meredam tekanan psikologis
Italia perlu psikolog olahraga dan pendekatan manajemen tekanan yang lebih struktural.
5. Konsistensi pelatih
Spalletti harus diberikan waktu dan dukungan penuh untuk membangun proyek jangka panjang.
Penutup: Italia Masih Bisa Bangkit
Meski kembali terseok-seok menuju Piala Dunia 2026, Italia tetap memiliki fondasi sepak bola yang kuat, tradisi yang besar, serta potensi regenerasi yang sedang tumbuh. Jalan menuju 2026 mungkin berliku, tetapi bukan berarti tertutup. Jika perubahan dilakukan dengan serius—baik pada level taktik, manajemen, maupun struktur sepak bola nasional—Italia tetap bisa kembali ke panggung tertinggi dunia.
By : BomBom


